Penulis: Agus Setiawan: Wakil Ketua PCNU Metro, Wakil Rektor I Universitas Ma’arif Lampung (UMALA)
Peran Strategis NU dalam Momentum Pilkada 2024
Pilkada serentak tahun 2024 menjadi salah satu momen strategis dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga netralitas sesuai dengan Khittah NU 1926 yang menegaskan bahwa NU bukanlah Jam’iyyah Siyasyah (organisasi politik) tetapi NU sebagai Jam’iyyah Diniyah wal Ijtima’iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakaratan). Di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, NU harus mampu mempertahankan posisinya sebagai penjaga moral bangsa, sekaligus menjadi penyeimbang dalam situasi yang kerap diwarnai polarisasi dan eksploitasi politik identitas. Namun, di sisi lain, NU juga tidak dapat mengabaikan hak politik warga Nahdliyin sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki peran penting dalam menentukan arah pembangunan bangsa.
Sebagai entitas yang netral dalam politik praktis, NU dituntut untuk tetap konsisten dalam mengutamakan kemaslahatan umat tanpa terjebak dalam pusaran kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Di saat yang sama, aspirasi politik warga NU harus tetap difasilitasi dan diarahkan agar selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyyah. Refleksi terhadap peran NU dalam Pilkada serentak ini menjadi penting untuk memastikan organisasi ini dapat terus menjalankan fungsi utamanya sebagai pengayom umat dan perekat harmoni sosial, sekaligus mendorong partisipasi politik warga Nahdliyin yang bertanggung jawab dan beretika.
Menegaskan Kembali Makna Khittah NU 1926 dalam Konteks Politik
Keterlibatan NU dalam politik praktis terjadi ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952. Namun, pada 5 Januari 1973, NU memutuskan untuk bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika menjadi partai politik, muncul berbagai kritik dari dalam NU, salah satunya menyebutkan bahwa “elit politik” NU kurang fokus pada perhatian terhadap umat. Kritik-kritik tersebut memicu perdebatan dan dorongan untuk kembali pada khittah, yang menegaskan posisi NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, bukan sebagai entitas politik praktis.
Usulan untuk kembali pada Khittah NU semakin menguat setelah dua kali Munas Alim Ulama membahas masalah ini, yang pertama di Kaliurang tahun 1981 dan yang kedua di Situbondo pada tahun 1983. Pada Munas Situbondo, dibentuklah “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini berhasil menyusun dan menyepakati Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, kedudukan ulama dalam politik, hubungan antara NU dan politik, serta makna Khittah NU 1926. Hasil dari Munas Alim Ulama tersebut kemudian dijadikan pembahasan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, setelah melalui diskusi dan perdebatan yang panjang, akhirnya berhasil disepakati dan ditetapkan prinsip dasar Khittah NU.
Khittah NU 1926 adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Landasan inilah yang menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, bukan organisasi politik.
Dalam konteks politik, prinsip ini lahir dari kesadaran bahwa NU memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga kemaslahatan umat tanpa terjebak dalam kepentingan politik praktis jangka pendek. Lebih jauh, sikap politik NU tercermin dalam Pedoman Berpolitik Nahdlatul Ulama yang mengedepankan sikap politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik yang beretika. Sebagai organisasi yang mengedepankan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah, NU memilih jalur dakwah dan pendidikan sebagai fokus utamanya, sehingga mampu menjadi pengayom bagi semua golongan, terlepas dari afiliasi politik mereka.
Meskipun Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan tidak boleh terlibat langsung dalam politik praktis, namun tidak berarti NU mengabaikan dinamika politik yang terjadi. Sebagai organisasi yang mengemban amanah moral dan sosial, NU memiliki kewajiban untuk merespons setiap gerak politik yang berpengaruh pada kemaslahatan umat dan bangsa. Respon ini tentu saja bukan dalam bentuk dukungan praktis terhadap partai atau kandidat tertentu, tetapi melalui sikap kritis, konstruktif, dan edukatif untuk memastikan bahwa politik tetap berjalan dalam koridor etika, keadilan, dan berorientasi untuk kesejahteraan masyarakat. Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari rahim NU merupakan bukti kongkret bahwa NU tidak mengabaikan peran sosialnya dalam memfasilitasi warga Nahdliyin dalam menyalurkan aspirasi politik. Dengan cara ini, NU dapat tetap menjalankan peran strategisnya sebagai penjaga moral bangsa, tanpa kehilangan independensi dan marwah sebagai organisasi keagamaan yang netral dan tetap menjaga hak warganya dalam menyalurkan aspirasi politik sebagai seorang warga negara.
Tantangan dan Peluang dalam Menjaga Keseimbangan Sikap Politik NU
Salah satu tantangan yang dihadapi NU dalam menjaga keseimbangan sikap politik adalah politisasi simbol, nama, dan identitas organisasi oleh kandidat atau partai politik. Dalam berbagai momen politik, seperti Pilpres dan Pilkada sebelumnya, sering terjadi penggunaan atribut NU untuk mendulang suara. Kasus ini menunjukkan bahwa eksploitasi simbol NU dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, bahkan menciptakan kesan seolah-olah NU berpihak pada kelompok tertentu. Situasi ini mencoreng netralitas organisasi, sehingga penting bagi NU untuk mempertegas posisinya dalam menolak segala bentuk politisasi tersebut.
Dinamika politik praktis kerap memunculkan polarisasi di kalangan warga Nahdliyin, baik di tingkat elit maupun akar rumput. Perbedaan pilihan politik sering kali menciptakan konflik internal yang merusak ukhuwah nahdliyyah. Hal ini sering terjadi ketika terdapat dua tokoh yang sama-sama memiliki kedekatan dengan NU bersaing dalam kontestasi. Situasi ini memicu perdebatan sengit di antara warga Nahdliyin, baik di ruang publik maupun media sosial. Perpecahan ini tidak hanya merugikan citra NU sebagai organisasi yang netral, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang terhadap persatuan di kalangan Nahdliyin. Oleh karena itu, NU harus mampu menjadi perekat yang menjembatani perbedaan ini, mengedepankan ukhuwah dan maslahat bersama di atas kepentingan politik.
Sebagai organisasi besar dengan pengaruh luas, NU sering kali menjadi target tekanan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun elit politik, untuk mengambil sikap tertentu dalam kontestasi politik. Dalam beberapa kasus, tekanan ini bahkan berujung pada munculnya konflik internal di tubuh organisasi, terutama di tingkat wilayah dan cabang. Tekanan semacam ini tidak hanya menguji independensi NU, tetapi juga mengancam kesolidan organisasi di tingkat akar rumput. Selain itu, banyaknya kader NU yang terjun ke dunia politik, baik sebagai calon kepala daerah, legislator, maupun pendukung kandidat, juga menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi NU. Dalam beberapa kasus, keterlibatan kader ini menimbulkan kesan seolah-olah NU sebagai organisasi ikut memberikan dukungan kepada pihak tertentu. Hal ini terjadi dalam Pilkada 2024, ketika beberapa tokoh NU terlibat secara aktif mendukung atau menolak salah satu kandidat, sehingga memunculkan polarisasi baik di kalangan kader maupun simpatisan. Situasi ini menjadi semakin runyam ketika pimpinan NU tidak bijak dalam mengambil keputusan sikap politik sehingga justru terjebak dalam praktik-praktik politik praktis yang mengorbankan marwah organisasi.
Dalam konteks ukhuwah nahdliyyah, tentu saja tidak dapat disalahkan jika seorang aktifis NU akan cenderung memberikan dukungan kepada salah satu calon yang juga seorang aktifis NU. Berkaitan dengan hal ini, sebenarnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menegaskan dan memberikan koridor dan juga solusi melalui keputusan tetang penonaktifan pengurus Nahdlatul Ulama yang terlibat langsung dalam pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, baik sebagai calon maupun yang terlibat menjadi tim pemenangan. Keputusan ini menjadi jalan keluar sekaligus bentuk komitmen NU dalam menjalankan Khittah NU dalam menghadapi dinamika politik.
Membangun Orientasi Gerakan NU
Pilkada serentak 2024 menjadi momentum penting bagi Nahdlatul Ulama (NU) untuk menegaskan kembali posisinya sebagai organisasi keagamaan yang netral dan independen, sekaligus berperan aktif dalam menjaga harmoni sosial di tengah dinamika politik bangsa. Sebagai pengayom umat dan penjaga moral bangsa, NU harus mampu menghindari jebakan politik praktis yang berpotensi merusak marwah organisasi. Di sisi lain, NU juga perlu memastikan bahwa hak politik warga Nahdliyin harus tetap terakomodasi dengan baik, melalui edukasi dan panduan yang mendorong partisipasi politik yang cerdas, beretika, dan berpihak pada kepentingan umat serta bangsa.
Dalam menghadapi tantangan politik, NU perlu mengimplementasikan langkah-langkah strategis yang berbasis pada Khittah NU 1926. Pertama, memastikan netralitas organisasi di semua tingkatan struktur, dari pusat hingga akar rumput, untuk menghindari politisasi dan eksploitasi identitas NU oleh pihak tertentu. Kedua, memperkuat peran NU sebagai fasilitator harmoni sosial dengan menjaga ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah nahdliyah di tengah potensi polarisasi politik. Ketiga, memberikan pendidikan politik kepada warga Nahdliyin agar mereka mampu berpartisipasi secara bijak tanpa terjebak dalam konflik atau manipulasi politik. Keempat, mendorong kader NU yang terjun ke dunia politik untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai islam ahlusunnah wal jama’ah an nahdliyyah, sehingga kiprah mereka menjadi representasi etika politik yang bermartabat. Dan yang kelima, penegasan program NU pada layanan warga harus tetap menjadi prioritas utama dalam menjalankan khidmat organisasi NU.
Melalui langkah-langkah ini, NU dapat terus menjalankan perannya sebagai penjaga nilai moral bangsa, memastikan dinamika politik tetap berada dalam koridor etika, dan menjaga persatuan di kalangan warga Nahdliyin. Dalam setiap sikap politik yang diambil, pertimbangan terhadap ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah nahdliyah harus menjadi prioritas, sehingga NU dapat menjadi teladan dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan politik individu dan maslahat umat secara keseluruhan. Dengan demikian, NU tidak hanya mampu menjaga independensinya, tetapi juga memperkuat kontribusinya dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Penegasan orientasi gerakan NU harus benar-benar menjadi landasan bahwa pengambilan sikap politik NU merupakan salah satu strategi yang harus dilakukan oleh NU dalam menjaga eksistensi dan marwah organisasi menuju kekuatan gerakan khidmat Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. “Wallahu a’lam bishawab”